Cabe, Jengkol dan Berbagi

Di sekeliling rumah karena ketelatenan mamakku dan tangan dinginnya tumbuh berbagai macam tanaman sayuran, obat obatan, rempah baik untuk tanaman berumur tahunan ataupun tanaman yang berumur bulanan. Semuanya ditanam baik langsung di pekarangan maupun menggunakan media pot, polibag bahkan bekas bekas plastik bekas minyak goreng, sabun, serta bungkus semen.

Lombok C

Tanaman cabe ditanam di media bungkus semen bekas (Foto: Hendricus Widiantoro)

Tanaman yang paling banyak menghiasi di halaman adalah tanaman cabe, cabai,atau lombok setauku seperti itu orang menyebutnya karena tanaman yang memiliki rasa pedas ini hampir selalu menjadi bumbu masakan.  Pembicaraan kaum ibu dengan mamakku selalu mengeluhkan tentang pentingnya  cabe untuk bahan masakan dan jika mulai mahal maka pemakaiannya pun berimbas pada uang dapur. Meski kelihatannya sepele cabai, cabe, atau lombok sepertinya memilki pengaruh yang sangat signifikan terhadap ekonomi hingga ke keluarga juga.

Biar tak salah aku ngintip ke Wikipedia untuk mengenal tanaman ini:

Lombok 8

Cabai tanaman di polybag (Foto: Hendricus Widiantoro)

Cabai atau cabai merah atau chili adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan. Bagi seni masakan Padang, cabai bahkan dianggap sebagai “bahan makanan pokok” ke sepuluh (alih-alih sembilan).

Sangat sulit bagi masakan Padang dibuat tanpa cabai. Cabai merah Besar (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang memilki nilai ekonomi yang tinggi. Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia. [1]. Sun et al. (2007) melaporkan cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau.

Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat antikanker (Kilham 2006; Bano & Sivaramakrishnan 1980). Cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena memiliki harga jual yang tinggi [2] dan memiliki beberapa manfaat kesehatan yang salah satunya adalah zat capsaicin yang berfungsi dalam mengendalikan penyakit kanker.

Selain itu kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus dikonsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung.

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Cabai

Benar itulah cabai dengan segundang manfaatnya.

Namun buat mamakku meskipun cabai bernilai ekonomis tinggi namun cabe yang tanamannya di depan, sampin, belakang rumah mencapai puluhan bahkan ratusan pot tersebut tak pernah di “komersil” kan meski katanya harga cabai di pasar bisa mencapai Rp28 ribu per kilogramnya. Alih alih ingin berhemat ternyata harga di pasaran cabai sekarang bisa mencapai sekitar Rp60 ribu perkilogramnya. Menanam sendiri menjadi solusi yang terbaik bagi mamakku.

Cabai cabai dalam pot tersebut awalnya hanya ditanam dengan media kantong plastik bekas minyak goreng dan beberapa bekas bungkus deterjen. Namun akhirnya aku membeli polybag berukuran besar supaya mamakku menananam lebih banyak lagi cabai tersebut.

Lombok 10

Tanaman cabai (Foto: Hendricus Widiantoro)

Musim kemarau yang menerjang membuat perawatan terhadap cabai cabai tersebut lebih intens. Setiap pagi dan sore penyiraman tetap dilakukan dengan kondisi air yang sangat minim. Air PAM tak mengalir dan hanya mengalir kalau malam dan itupun hanya sesekali plus air sumur yang disedot dengan pompa air pun mulai menipis persediaannya.

Namun penyiraman sekadarnya tetap perlu dilakukan. Setidaknya di kulkas selalu ada persediaan sampai satu kilogram cabai belum termasuk yang masih berada di pokok tanaman. Cabai cabai tersebut pun selalu menarik orang yang datang, tetangga, saudara. Tentunya mamakku selalu menawarkan kalau mau bikin sambel ia mempersilakan orang untuk memetiknya sendiri yang sudah tua berwarna merah kekuningan.

Namun tak jarang juga tanpa sepengetahuan kami jika ada yang lewat pun tangannya terampil memetiknya. Apapun bentuknya mereka pasti tahu harga cabai di pasar cukup mahal dan mamakku tetap tidak mengkomersilkan bahkan tak pernah menjual cabai tersebut. Tak hanya tanaman cabai yang ada di atas polybag tersebut, masih menumpang juga beberapa tanaman lain: kemangi, jahe, bayam serta beberapa tanaman lain yang tak jauh jauh dengan keperluan dapur.

Selain itu yang tak ditanam di polybag langsung di pekarangan diantaranya tanaman kunyit, lengkuas, serta tanaman obat lainnya temulawak hingga sereh. Sebuah kebiasaan entah jelak atau tidak jika ada orang yang lewat dan berniat untuk masak ikan atau daging terkadang tanpa meminta mencongkel lengkuas ataupun sereh yang di tanam di depan rumah.

Kasusnya bukan tidak boleh diminta namun asal mengambil dicongkel dan jika tak ditemukan kunyit maka tanaman tersebut berserakan di sekitar kebun. Alamaaak…mungkin kebiasaan orang tak mau menanam dan saat membutuhkan baru mencabut dari tanaman yang ditanam oleh mamakku.

Kebiasaan tersebut memang tak bisa dihindari namun kepada kami anak anaknya mamak hanya mengatakan kenapa orang orang tersebut tak pernah mau menanam sendiri seperti kami. Lahan dan pekarangan mereka lebih luas dari kami dan jika mamak harus mengatakan “tanamlah sendiri” itu tak akan dilakukan karena terkesan mengajari. Setidaknya tanaman tanaman cabai berikutlah yang menarik orang untuk memetiknya:

Lombok 9

Cabe

Lombok 7

Cabai

Lombok 6

Cabai di pekarangan

Lombok 5

Cabai

Lombok 4

Cabai

Lombok 3

Cabai

Lombok 2

Cabai

Lombok 1

Cabai

Lombok 11

Cabai

Masih di kebun..di belakang rumah pun masih ada beberapa pohon jengkol dan petai. Namun entah mengapa tanaman petai dari dulu hingga kini tak pernah berbuah. Bahkan hingga dilakukan sebuah cara yang menurutku entah mitos atau bukan tanaman tersebut diberi BH supaya bisa berbuah. Tapi tetap enggan berbuah. Masih mending tanaman jengkol yang tingginya mencapai sekitar 8 meter. Selalu berbuah dan jadi incaran para tengkulak yang ingin membelinya. Siapa yang ga tau nikmatnya jengkol dan bahkan beberapa tahun yang lalu jengkol nyaris mencapaii harga Rp 80 ribu perkilogramnya. Kini entah berapa harganya di pasar, yang pasti seperti tadi jengkol yang nikmatnya bisa ditemukan di warung makan ini cukup menggiiurkan jika diolah meski tanaman ini aroma atau baunya tak disukai.

Jengkol 6

Pohon Jengkol (Foto: Hendricus Widiantoro)

Jengkol di belakang rumah pun hanya dijadikan tanaman yang siap dipetik untuk keluargaku yang suka seperti bapak dan mamakku. Aku kadang saja makan jika melihat kawanku dengan lahapnya makan jengkol di warung padang sehingga mencobanya dan memang rasanya nikmat.

Jengkol 5

Jengkol (Foto: Hendricus Widiantoro)

Kalau mau tahu kandungan dan manfaatnya aku saranin baca di blognya Unibio ini yang akan mengetahui manfaat dan bahaya jengkol:

Meskipun bau dan dianggap makanan kurang gaul, jangan meremehkan jengkol. Selain sangat kaya akan vitamin C, ternyata kandungan proteinnya lebih tinggi dari tempe. Jengkol pun diperlukan buat mereka yang mengalami anemia. Bagi sebagian besar orang, makan jengkol mungkin merupakan sesuatu hal yang memalukan.

Jengkol 2

Jengkol (Net)

Makanan yang satu ini memang sangat kontroversial. Meskipun tanpa bau saat memakannya, orang-orang di sekeliling sudah terlebih dahulu menutup hidung. Tanaman jengkol sudah sejak lama ditanam di Indonesia. Tanaman ini juga banyak ditemukan di Malaysia dan Thailand. Namun, asal-usul tanaman jengkol tidak diketahui dengan pasti. Di Sumatera, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, tanaman jengkol banyak ditanam di kebun atau pekarangan secara sederhana.

Selengkapnya di link ini: http://unibio-center.blogspot.com/2013/01/kandungan-manfaat-dan-bahaya-jengkol.html Tanaman jengkol yang ada di belakang rumah dari jauh memang tak terlihat berbuah. Namun jika di dekati akan terlihat di sela sela daun tanaman yang buahnya berkulit gelap keunguan tersebut terlihat jelas. Tak harus memanjat dengan galah yang diberi pisau jengkol tersebut pun sudah siap dipindahkan ke piring untuk disantap.

Jengkol

Rendang jengkol (Net)

Jika masih muda bisa untuk lalapan dan jika sudah tua bisa untuk dijadikan rendang. Pernah dua tahun sebelumnya aku memanennya dan mendapatkan satu karung dan dibagi bagikan kepada tetangga ku yang mau. Rata rata dimasak menjdai rendang. Demikian juga bibiku yang suka mengolahnya menjadi rendang.

Tangan dingin mamakku menjadikan pekarangan dan barang barang bekas bisa memenuhi kebutuhan dapur. Itulah anugerah alam Indonesia yang terkadang tak banyak dimanfaatkan.

Pemilik lahan sempit dan terbatas seperti keluarga kami memanfaatkannya untuk ditanami tanaman beraneka jenis dan manfaat. Pelarangan, mau dimanfaatkan atau tidak itu tergantung pemiliknya..Sebab alam Indonesia yang kaya  telah memberi banyak berkah bagi warganya..

Jengkol 2

Jengkol hasil panenanku (Foto: Hendricus Widiantoro)

Categories: Berkebun, Inspirasi, Mamak, Tanaman | Tag: , , , , , , , , , , , | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.